Kisahku Mengejar Cinta Ibu



Kisahku Mengejar Cinta Ibu
Ibu. Betapa berharganya satu kata itu bagi berjuta hati. Begitu pula denganku, kawan. Hanya saja, ibu yang ingin kukisahkan bukanlah sosok ibu yang melahirkanku dan menyeka peluhnya karena berat membawaku selama sembilan bulan lebih. Tapi beliau adalah ibu perkasa yang sungguh di sudut hatiku setelah sekian lama, aku mengaguminya.
Aku biasa memanggilnya mami. Bukan ibu kandungku memang, beliau ibu sambungku atau biasa orang bilang ibu tiri yang identik dengan kejahatan atau kesadisan sosok itu. Aku pun tidak mengelak jika memang sempat merasakan sedikit kejahatan itu. Tapi sungguh kasar dan tidak pantas kiranya jika kata itu yang tersemat. Karena jika aku telaah lebih lanjut, tidaklah mudah menjadi seseorang yang adil. Apalagi itu masalah buah hati. Aku yang notabene kurang lebih setahun menjadi guru TK tahu betul, betapa anak didik apalagi anak sendiri begitu lekat di hati. Begitu pun mamiku, keadaan yang menakdirkan beliau untuk menjadi seorang ibu tiri. Mungkin beliau pun sebenarnya tak menginginkan hal itu. Predikat yang selalu menjadi pesakitan utama untuk disalahkan.

Sungguh, sepertinya lebih susah menjadi ibu tiri daripada anak tiri, kawan. Walaupun aku tak menampik bahwa menjadi anak tiri juga tidak selalu enak. Seorang ibu tiri harus siap menerima tudingan banyak orang jika dirasa apa yang anak tiri alami tidak adil atau tidak sesuai dengan keinginan si anak tiri. Bagi kaum yang tidak pernah merasakan menjadi ibu (kaum adam tentunya) atau para gadis yang belum pernah mempunyai anak (anak kandung, anak didik, atau adik) tentu akan susah untuk mengerti rasa yang dialami oleh ibu tiri. Pun seperti diriku dulu, jauh sebelum menjadi guru TK dengan ratusan anak didik.

Eits, tapi bukan hanya curhatan itu yang ingin aku sampaikan, kawan. Cukuplah aku gambarkan untuk menggaris bawahi bahwa, menjadi ibu tiri itu mungkin jauh lebih susah daripada menjadi anak tiri. Bahkan aku sering berfikir, bisakah aku jika ada di posisi mamiku saat ini?

Itulah mengapa setelah kurang lebih 8 tahun aku hidup seatap dengan beliau, seringkali kutabahkan diriku jika sayatan-sayatan hati itu kerap muncul. Bahkan bisa dibilang hampir setiap hari selalu ada tangis. Yaa mungkin tidak semua yang memiliki ibu tiri terkisah seperti ini. Mungkin lebih pedih atau lebih bahagia. Tapi, selalu dan selalu diri ini ingin melakukan berbagai cara untuk membuat beliau mencintaiku seperti beliau mencintai anaknya sendiri. Sesuatu yang telah lama tak kudapatkan dari ibu kandungku. Hingga, tumbuhlah aku menjadi seseorang yang perfectionist karena begitulah yang selalu diinginkan mamiku. Semuanya harus perfect! Tapi, seperfect apapun yang kulakukan tak pernah membuat kebanggaan di hati beliau. Bahkan sempat aku berdoa: Allah... berikanlah hamba hati yang baru setiap saat, yang siap manakala sayatan demi sayatan tergores, agar hati ini tegak kembali untuk berjuang. Begitu inginnya aku akan cinta mami.

Sampai di suatu ketika, aku terhuyung patah semangat... berarang-arang... dan hati ini menjerit, Mengapa tetap tak kau cintai diriku, padahal semua hal yang terbaik yang bisa kulakukan sudah kulakukan, tapi mengapa kau semakin menjadi padaku, semakin membenciku! Dan pikiran-pikiran buruk pun berkecamuk. Dan.... aku tersadar bahwa aku telah melupakan sesuatu hal kawan...

Allah, buatlah hatinya menyayangi hamba dengan tulus seperti hamba mencintainya karenaMu, karena sekalipun nyawa ini hamba korbankan, tak kan merekatkan hati-hati tanpa kehendakMu, duhai Rabb Yang Maha Agung.


Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al Qashas: 56)


"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." (QS. Al Anfal:63)

Dan saat itu pula aku merasa keimananku sedang diuji, seberapa cinta diriku pada Tuhanku, seberapa murni imanku padaNya, seberapa ikhlas diriku melakukan semua yang berdalih karena Tuhan.


Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al An"aam: 162)

Maka kawan, kiranya kisahku ini sebagai cermin bagi kawan-kawanku di luar sana untuk meluruskan kembali niat manakala obsesi membuncah ingin menyatakan asa. Bisa jadi tak mirip seperti kisahku kawan karena pekerjaan, cita-cita, atau bahkan cinta... bisa membutakanmu hingga melupakan tujuanmu menapaki malam demi malam yang justru membuat semua asamu semakin sulit kau rengkuh. Bermuhasabahlah... barangkali di balik itu, Allah selipkan kejutan kecil yang tak pernah kau kira.

Pun seperti diriku. Di saat kesadaran kembali setelah kepongahanku menagih cinta, aku urai kembali benang-benang kehidupan itu yang bermuara padaNya. Satu demi satu. Dan kini... alhamdulillah, syukurku pada Allah Subhanahu wa Taala, beliau lebih lunak padaku, cintanya lebih membinar padaku.

Maka, kukatakan padamu kawan, kejar cintamu, cinta ibumu, apalagi jika itu ibu kandungmu sekalipun berdarah-darah atau bahkan hidupmu sebagai taruhannya. Bukankah itu juga merupakan bukti cintamu pada Rabbmu? I love you, Mummy -meskipun mungkin engkau tak tahu sebegitu besar cintaku padamu. [Gresia Divi/bersamadakwah]

Follow On Twitter