Ada kepercayaan yang tak lekang oleh waktu, bahwa raja Mataram yang baru dinobatkan tidak akan sah diakui dunia kasar dan halus, kalau belum berhasil memetik bunga Widjojokoesoemo
sebagai pusaka keraton. Mengapa harus memetik bunga itu, dan mengapa kini beredar bunga Wijayakusuma
yang lain?
Tradisi memetik bunga itu didasarkan atas kepercayaan, bahwa pohon yang menghasilkan bunga itu jelmaan pusaka keraton Batara Kresna. Batara titisan Wisnu ini kebetulan menjadi Raja Dwarawati. Letaknya di dunia pewayangan sana.Menurut kisah spiritual yang diteruskan dari mulut ke telinga, dan dari mulut ke telinga yang lain, pusaka keraton itu dilabuh (dihanyutkan) ke Laut Kidul oleh Kresna, sebelum beliau mangkat ke Swargaloka, di kawasan Nirwana.
Apa yang terjadi? Pusaka atribut Raja Kresna itu setelah dilabuh menjadi pohon di atas batu pulau karang (Majethi). Letaknya di ujung timur Pulau Nusakambangan di selatan Kota Cilacap.
Secara fisik, pulau yang terkenal sebagai Karangbandung (Majethi) itu dikuasai oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia, tetapi secara spiritual ia dikuasai oleh ratu siluman, Nyai Roro Kidul. Ratu ini sering mengadakan rapat pleno di pulau itu.
Karena menurut silsilah dalam Babad Tanah Jawi raja-raja Jawa itu keturunan Bre Widjaye dari Majapahit (yang titisan Wisnu juga), maka sudah sepantasnyalah kalau para baginda mewarisi pusaka keraton Dwarawati yang kini tumbuh di Karangbandung (Majethi). Maka, raja Mataram yang baru dinobatkan juga wajib hukumnya untuk mengambil bunga pusaka yang keramat itu.
Untuk memetiknya jelas sulit sekali. Tidak hanya karena tempatnya yang terpencil, tetapi juga karena pulau itu angker dijaga ketat oleh garnisun tentara siluman. Diperlukan seorang paranormal agar dapat berhasil. Ini menurut para abdi dalem petugas pengambil bunga.
Pada zaman Mataram dulu mereka berjalan kaki dari Kartosuro (ibu kota kerajaan waktu itu) ke Magelang lewat Boyolali dan menyusuri lereng Gunung Merapi. Dari Magelang melalui Temanggung dan Wonosobo, mereka turun ke Cilacap. Lalu menyeberang ke Pulau Karangbandung (Majethi) dengan perahu. Sudah bersusah payah mendekat, ternyata pohonnya tidak mau berbunga pada sembarang waktu. Berbunganya sesudah diminta oleh paranormal yang berwajib dengan bersemedi.
Kalau sudah ndelalah (semacam Que sera sera), bunga akan jatuh sendiri dalam bokor yang segera ditutup dengan kain kerajaan. Inilah yang kemudian dibawa kembali ke Kartosuro, dan disimpan dalam kamar pusaka keraton. Tak seorang pun boleh melihat bunga di bawah kain penutup itu. Hanya raja yang boleh mengintip, untuk memastikan bahwa yang dipersembahkan itu betul-betul bunga.
Itulah yang akan meneruskan spirit kebijakan bestari dari Betara Kresna ke raja Mataram yang kini berkuasa. Jadi caranya memerintah kerajaan dapat sama bijak dan adilnya dengan Raja Kresna Dwarawati.
* diambil dari Intisari